Shugo Chara - Amu Hinamori ANISA LASTRI: ANALGETIK Shugo Chara - Amu Hinamori
animasi-bergerak-selamat-datang-0033 animasi-bergerak-kucing-0072

Senin, 09 Oktober 2017

ANALGETIK





MEKANISME PERJALANAN NYERI 

A. PENGERTIAN NYERI 
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.

B. PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri disusunan saraf pusat (cortex cerebri).

1. Proses Transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

2. Proses Transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

3. Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.

4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.



ANALGETIKA
Analgetika adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit. Berdasarkan mekanisme kerja pada tingkat molekul, analgetika dibagi menjadi dua golongan yaitu analgetika narkotika dan analgetika non narkotik (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

Analgesik Opioid (Narkotik) dan Antagonis
Analgetika narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi dan kolik usus atau ginjal (Siswandono dan Soekardjo, 2008).
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Opium yang berasal dari getah Papaver somniverum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, istilah analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbukan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran maka istilah analgesik narkotik menjadi kurang tepat (Gunawan et.al., 2012:210).
Efek analgesik dihasilkan oleh adanya pengikatan obat dengan sisi reseptor khas pada sel dalam otak dan spinal cord. Rangsangan reseptor juga menimbulkan efek euforia dan rasa mengantuk (Siswandono dan Soekardjo, 2008).
Menurut Foye et al. (1995), reseptor turunan morfin mempunyai tiga sisi yang sangat penting untuk timbulnya aktivitas analgesik yaitu:
1)    Struktur bidang datar, yang mengikat cincin aromatik obat melalui ikatan Van der Waals.
2)    Tempat anionik, yang mampu berinteraksi dengan muatan positif obat.
3)    Lubang dengan orientasi yang sesuai untuk menampung bagian (–CH2-CH2–) dari proyeksi cincin piperidin yang terletak di depan bidang yang mengandung cincin aromatik dan pusat dasar.

Reseptor Opioid
Ada tiga jenis utama reseptor opioid yaitu mu , delta  dan kappa (k). Ketiga jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki subtipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2, kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik yang beragam (Tabel 13-1) (Gunawan et.al., 2012:211).


Reseptor mu memperantarai efek analgetik mirip morfin, euforia, depresi napas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor k diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi nafas yang tidak sekuat agonis mu. Selain itu disusunan saraf pusat juga didapatkan reseptor delta yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor epsilon yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor delta memegang peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid (Gunawan et.al., 2012:211).


KLASIFIKASI OBAT GOLONGAN OPIOID
Klasifikasi obat golongan opioid berdasarkan kerjanya pada reseptor (Tabel 13-2) (Gunawan et.al., 2012:211).


STRUKTUR KIMIA OPIOID DAN ANTAGONIS OPIOID

GOLONGAN OBAT ANALGETIK OPIOID
1)       Morfin
2)       Meperidin
3)       Derivat Fenilpiperidin
4)       Metadon dan Opioid Lain
5)       Antagonis Opioid (Nalorfin, Levalorfan, Siklazosin)
6)       Agonis Parsial (Pentazosin, Buprenorfin, Butorfanol)
7)       Anti-tusif Non-Opioid (Dekstrometorfan, Noskapin)

PENGGOLONGAN

A.     Turunan Morfin
Hubungan struktur dan aktivitas morfin dijelaskan sebagai berikut:
Fenolik OH

Metilasi gugus fenolik OH dari morfin akan mengakibatkan penurunan aktivitas analgesik secara drastis. Gugus fenolik bebas adalah sangat krusial untuk aktivitas analgesik (Patrick, 1995).

Metilasi gugus fenolik OH dari morfin akan mengakibatkan penurunan aktivitas analgesik secara drastis. Gugus fenolik bebas adalah sangat krusial untuk aktivitas analgesik (Patrick, 1995). 
6-Alkohol
Penutupan  atau  penghilangan  gugus  alkohol  tidak  akan  menimbulkan penurunan efek analgesik dan pada kenyataannya malah sering menghasilkan efek yang berlawanan. Peningkatan aktivitas lebih disebabkan oleh sifat farmakodinamik dibandingkan dengan afinitasnya dengan reseptor analgesik. Dengan kata lain, lebih ditentukan oleh berapa banyak obat yang mencapai reseptor, bukan seberapa terikat dengan reseptor. Analog morfin menunjukkan kemampuan untuk mencapai reseptor lebih efisien dibandingkan dengan morfin itu sendiri. Hal ini disebabkan karena reseptor analgesik terletak di otak dan untuk mencapai otak, obat harus melewati sawar darah otak. Dalam rangka untuk mencapai otak, maka terlebih dahulu harus melewati barier ini. Mengingat barier tersebut adalah lemak maka senyawa yang bersifat polar akan kesulitan menembus membran. Morfin memiliki tiga gugus polar (fenol, alkohol dan, amin) sedangkan analognya telah kehilangan gugus polar alkohol atau ditutupi dengan gugus alkil atau asil. Dengan demikian maka analog morfin akan lebih mudah masuk ke otak dan terakumulasi pada sisi reseptor dalam jumlah yang lebih besar sehingga aktivitas analgesiknya juga lebih besar (Patrick, 1995).
Ikatan Rangkap pada C7 dan C

Beberapa analog termasuk dihidromorfin menunjukkan bahwa ikatan rangkap tidak penting untuk aktivitas analgesik (Patrick, 1995).

Gugus N-Metil



Atom nitrogen dari morfin akan terionisasi ketika berikatan dengan reseptor. Penggantian gugus N-metil dengan proton mengurangi aktivitas analgesik tetapi tidak menghilangkannnya. Gugus NH lebih polar dibandingkan dengan gugus N-metil  tersier  sehingga  menyulitkannya  dalam  menembus  sawar  darah  otak akibatnya akan menurunkan aktivitas analgesik. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi N-metil tidak terlalu signifikan untuk aktivitas analgesik. Sedangkan penghilangan atom N akan menyebabkan hilangnya aktivitas (Patrick, 1995).

Cincin Aromatik
Cincin aromatik memegang peranan penting dimana jika senyawa tidak memiliki cincin aromatik tidak akan menghasilkan aktivitas analgesik. Cincin A dan nitrogen merupakan dua struktur yang umum ditemukan dalam aktivitas analgesik opioid. Cincin A dan nitrogen dasar adalah komponen penting dalam efek untuk µ agonis, akan tetapi jika hanya kedua komponen ini saja, tidak akan cukup juga untuk menghasilkan aktivitas, sehingga penambahan gugus farmakofor diperlukan. Substitusi pada cincin aromatik juga akan mengurangi aktivitas analgesik (Patrick, 1995).

Jembatan Eter
Pemecahan jembatan eter antara C4 dan C5 akan munurunkan aktivitas (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

Stereokimia 

Morfin adalah molekul asimetrik yang mengandung beberapa pusat kiral dan secara alami sebagai enansiomer tunggal. Ketika morfin pertama kali disintesis, dibuat sebagai sebuah rasemat dari campuran enansiomer alami dan bagian mirror-nya. Ini selanjutnya dipisahkan dan “Unnatural” morfin dites aktivitas analgesiknya dimana hasilnya tidak menunjukkan aktivitas. Hal ini disebabkan karena interaksi dengan reseptornya dimana telah diidentifikasi bahwa setidaknya ada tiga interaksi penting melibatkan fenol, cincin aromatik dan amida pada morfin. Reseptor mempunyai gugus ikatan komplemen yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga mampu berinteraksi dengan ketiga gugus tadi. Sedangkan pada “Unnatural” morfin hanya dapt terjadi satu interaksi resptor dalam sekali waktu (Patrick, 1995).


Epimerization pusat kiral tunggal seperti posisi 14 tidak juga menguntungkan, karena perubahan stereokimia di bahkan satu pusat kiral dapat mengakibatkan perubahan bentuk yang drastis, sehingga mustahil bagi molekul untuk berikatan dengan reseptor analgesik (Patrick, 1995).


Penghilangan Cincin E
Penghilangan cincin E akan mengakibatkan kehilangan seluruh aktivitas, hal ini menunjukkan pentingnya nitrogen untuk aktivitas analgesik (Patrick, 1995).


Penghilangan Cincin D

 Penghilangan jembatan oksigen memberikan serangkaian senyawa yang disebut morphinan yang memiliki aktivitas analgesik yang bermanfaat. Ini menunjukkan bahwa jembatan oksigen tidak terlalu penting (Patrick, 1995).



Pembukaan Cincin C dan D


Pembukaan kedua cincin ini akan menghasilkan gugus senyawa yang dinamakan benzomorphan yang mempertahankan aktivitas analgesik. Hal ini menandakan bahwa cincin C dan D tidak penting untuk aktivitas analgesik (Patrick, 1995).

Penghilangan Cincin B, C, dan D


         
          Penghilangan cincin B,C, dan D akan menghasilkan senyawa 4-phenylpiperidine yang  memiliki aktivitas analgesik. Hal ini menunjukkan bahwa cincn B,C dan D tidak penting untuk aktivitas analgesik (Patrick, 1995).

Penghilangan Cincin B,C,D, dan E.
Penghilangan cincin B,C,D dan E akan menghasilkan senyawa analgesik yaitu methadone (Patrick, 1995).

B.            Turunan Meperidin
Meskipun strukturnya tidak berhubungan dengan struktur morfin tetapi masih menunjukkan kemiripan karena mempunyai pusat atom C kuartener, rantai etilen, gugus N-tersier dan cincin aromatik sehingga dapat berinteraksi dengan reseptor analgesik.

C.            Turunan Metadon
Turunan metadon bersifat optis aktif dan biasanya digunakan dalam bentuk garam HCl. Meskipun tidak mempunyai cincin piperidin, seperti pada turunan morfin atau meperidin, tetapi turunan metadondapat membentuk cincin bila dalam lartan atau cairan tubuh. Hal ini disebabkan karena ada daya tarik – menarik dipol-dipol antara basa N dengan gugus karboksil.
 

Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-Inflamasi NonSteroid
Analgetika non narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan sampai moderat sehingga sering disebut analgetika ringan, juga menurunkan suhu badan pada keadaan panas badan yang tinggi dan sebagai antiradang untuk pengobatan rematik. Analgetika non narkotik bekerja pada perifer dan sentral sistem saraf pusat. Berdasarkan struktur kimianya analgetika non narkotik dibagi menjadi dua kelompok yaitu analgetik-antipiretik dan obat antiradang bukan steroid (Non Steroid antiinflamatory Drugs = NSAID) (Siswandono dan Soekardjo, 2008).


Klasifikasi obat analgesik antiinflamasi non steroid (obat AINS)



Obat analgesik antipiretik serta obat antiinflamasi non-steroid (AINS) merupakan salah satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter. Obat-obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin. Karena itu obat golongan ini disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin-like drugs) (Gunawan et.al., 2012:230).
  

Sifat Dasar Obat Anti-Inflamasi NonSteroid
a)    Mekanisme Kerja
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektifitas yang berbeda. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya bersifat unik. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Siklooksigenase-2 semula diduga diinduksi berbagai stimulus inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factors). Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses perbaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disintesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin (PGI2) yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Gunawan et.al., 2012:231).
b)    Efek Farmakodinamik
·      Efek Analgesik
Sebagai analgesik, obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, terutama terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opiat. Tetapi berbeda dengan opiat, obat mirip-aspirin tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Obat mirip-aspirin hanya mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen, tidak teratasi dengan obat mirip-aspirin. Sebaliknya nyeri kronis pasca bedah dapat diatasi oleh obat mirip aspirin (Gunawan et.al., 2012:233).
·      Efek Antipiretik
Sebagai antipiretik, obat mirip-aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Ini berkaitan dengan hipotesis bahwa COX yang ada di sentral otak terutama COX-3 dimana hanya parasetamol dan beberapa obat AINS lainnya dapat menghambat. Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik atas alasan tersebut (Gunawan et.al., 2012:233).
·      Efek Anti-Inflamasi
Kebanyakan obat mirip-aspirin, terutama yang baru, lebih dimanfaatkan sebagai antiinflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal, misalnya artritis reumatoid, osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat mirip-aspirin ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan muskuloskeletal ini (Gunawan et.al., 2012:233).
c)     Efek Samping
Selain menimbulkan efek terapi, AINS juga memiliki efek samping serupa, karena didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis PG. Selain itu kebanyakan obat bersifat asam sehingga lebih banyak terkumpul dalam sel yang bersifat asam misalnya di lambung, ginjal dan jaringan inflamasi. Jelas bahwa efek obat maupun efek sampingnya akan lebih nyata di tempat dengan kadar yang lebih tinggi. Secara umum AINS berpotensi menyebabkan efek samping pada 3 sistem organ yaitu saluran cerna, ginjal dan hati. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak peptik (tukak duodenum dan tukak lambung) yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna. Efek samping lain ialah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 (TXA2) dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan (Gunawan et.al., 2012:233-234).
Obat-obat Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-Inflamasi NonSteroid
1)    Golongan Salisilat, Salisilamid dan Diflunisal
2)    Golongan Para Amino Fenol
3)    Golongan Pirazolon dan Derivat
4)    Analgesik Anti-inflamasi Non Steroid Lainnya


PENGGOLONGAN
Analgetik-Antipiretika
Berdasarkan struktur kimianya obat analgetik-antipiretika dibagi menjadi dua kelompok yaitu turunan anilin adan para-aminifenol, dan turunan 5-pirazolon.
A.            Turunan Anilin dan para-Aminofenol
Hubungan struktur-aktivitas
1)       Anilin mempunyai efek antipiretik cukup tinggi tetapi toksisitasnya juga besar karena menimbulkan methemoglobin, suatu bentuk hemoglobin yang tidak dapat berfungsi sebagai pembawa oksigen.
2)       Substitusi pada gugus amino mengurangi sifat kebasaan dan dapat menurunkan aktivitas dan toksisitasnya. Asetilasi gugus amino (asetanilid) dapat menurunkan toksisitasnya, pada dosis terapi relatif aman tetapi pada dosis yang lebih besar menyebabkan pembentukan methemoglobin dan mempengaruhi jantung. Homolog yang lebih tinggi dari asetanilid mempunyai kelarutan dalam air sangat rendah sehingga efek analgesik dan antipiretiknya juga rendah.
3)       Turunan aromatik dari asetanilid, seperti benzenanilid, sukar larut dalam air, tidak dapat dibawa oleh cairan tubuh ke reseptor sehingga tidak menimbulkan efek analgesik, sedang salisilanilid sendiri walaupun tidak mempunyai efek analgesik tetapi dapat digunakan sebagai antijamur.
4)       Para-aminifenol adalah produk metabolic dari anilin, toksisitasnya lebih rendah disbanding anilin dan turunan orto dan meta, tetapi masih terlalu toksik untuk langsung digunakan sebagai oat sehingga perlu dilakukan modifikasi struktur untuk mengurangi toksisitasnya.
5)       Asetilasi gugus amino dari para-aminofenol (asetaminofen) akan menurunkan toksisitasnya, pada dosis terapi relatif aman tetapi pada dosis yang lebih besar dan pada pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan methemoglobin dan kerusakan hati.
6)       Eterifikasi gugus hidroksi dari para-aminofenol dengan gugus metil (anisidin) dan etil (fenetidin) meningkatkan aktivitas analgesik tetapi karena mengandung gugus amino bebas maka pembentukan methemoglobin akan meningkat.
7)       Pemasukan gugus yang bersifat polar, seperti gugus karboksilat dan sulfonat, ke inti benzene akan menghilangkan aktivitas analgesik.
8)       Etil eter dari asetaminofen (fenasentin) mempunyai aktivitas analgesik cukup tinggi, tetapi pada penggunaan jangka panjang menyebabkan methemoglobin, kerusakan ginjal dan bersifat karsinogenik sehingga obat ini dilarang di Indonesia.
9)   Ester salisil dari asetaminofen (fenetsal) dapat mengurangi toksisitas dan meningkatkan aktivitas analgesik.

(Siswandono dan Soekardjo, 2008).



DAFTAR PUSTAKA
.
Foye, W. O., T. L. Lemke dan  D. A. Williams. 1995. Principles of Medicinal Chemistry: Fourth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Gunawan, S. G., R. S. Nafrialdi dan Elysabeth. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

International Association for the Study of Pain. IASP taxonomy. IASP Web Site. [Online] 1979. [Cited : July Wednesday, 2011] http:// www.iasp-pain.org/Conten/NavigationMenu/GeneralResourceLinks/PainDefinitions/default.html

 Patrick, G. 1995. An Introduction To Medicinal Chemistry. New York: Oxford University Press.
Siswandono dan B. Soekardjo. 2008. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press.

Pertanyaan


1.      Dalam keadaan nyeri yang bagaimana sih obat analgetik opioid kuat jenis fenantren  digunakan ? dan bagaimana kerja obat tsb ?
2.             Solusi pemberian obat analgetik bagi yang menderita tukak lambung ?
3.    "Analog morfin menunjukkan kemampuan untuk mencapai reseptor lebih efisien  dibandingkan dengan morfin itu sendiri", bagaimana pengaruhnya ke rasa nyeri yang dirasakan pasien? Apakah mempengaruhi efek terapeutik obat atau tidak?
4.           Bagaimana dan berikan modifikasi struktur dalam meningkatkan efektivitas obat Morfin?
5.           Mekanisme secara umum dari Analgesik opioid?
 

 






22 komentar :

  1. Halo saya ingin mencoba menjawab No 3. Analog morfin menunjukkan kemampuan untuk mencapai reseptor lebih efisien dibandingkan dengan morfin itu sendiri.
    Pengaruhnya terhadap nyeri yang dialami pasien, tentu saja lebih cepat mengurangi rasa nyeri pasien tersebut, juga mempengaruhi efek terapeutik obat, karena analog morfin merupakan hasil modifikasi morfin dengan penghilangan gugus alkohol yang bersifat polar digantikan dengan gugus asil atau alkil, hal ini mengakibatkan analog morfin lipofilitasnya meningkat sehingga lebih mudah masuk ke otak, yang sebelumnya melewati barier yang merupakan lemak, karena analog morfin sifat lipofilnya tinggi dia akan mudah menembus barier ini dan terakumulasi pada sisi reseptor dalam jumlah yang lebih besar sehingga aktivitas analgesiknya juga lebih besar, intinya efek terapeutik yang dihasilkan menjadi lebih besar.

    BalasHapus
  2. Hai anisa
    Salah satu obat analgetik opioid golongan fenantren adalah morfin. Morfin sering digunakan untuk mengatasi nyeri kuat seperti nyeri pada infark miokard, neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner, nyeri luka bakar, nyeri pascabedah. Morfin merupakan agonis reseptor opioid, mekanisme kerjanya yaitu mengikat dan mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat.

    BalasHapus
  3. Aktivasi reseptor menghasilkan efek analgesik, efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme, (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri, (2) morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat. Selain efek analgesik, juga menimbulkan efek sedasi, euforia, physical dependence dan respiratory depression. Morfin juga bertindak sebagai agonis reseptor κ-opioid yang terkait dengan analgesia spinal dan miosis.

    BalasHapus
  4. Saya akan membantu menjawab pertanyaan no 2
    untuk mengatasi efek obat analgetik terhadap lambung, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, sebaiknya obat digunakan setelah makan untuk mengurangi efeknya terhadap lambung. Kedua, digunakan obat dalam bentuk bersalut selaput yang bertujuan mengurangi efeknya pada lambung, maka jangan digerus atau dikunyah. Ketiga, jika memang menyebabkan lambung perih atau sudah ada riwayat maag atau gangguan lambung sebelumnya, bisa diiringi penggunaannya dengan obat-obat yang menjaga lambung seperti antasid, golongan H2 bloker seperti simetidin atau ranitidin, golongan penghambat pompa proton seperti omeprazol atau lansoprazol, atau dengan sukralfat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya setujudengan saudari risma,jd hanya menambahkan saja untuk solusi pemberian obat analgetik yang aman pada penderitatukak lambung adalah digunakan obat paracetamol. obat ini tidak menimbulkan iritasi atau luka pada lambung

      Hapus
  5. Saya akan menjawab pertanyaan no 4
    Morfin dapat dimodifikasi menjadi analog morfin salah satu caranya dengan penghilangan gugus alkohol yang bersifat polar digantikan dengan gugus asil atau alkil, hal ini mengakibatkan analog morfin lipofilitasnya meningkat sehingga lebih mudah masuk ke otak, yang sebelumnya melewati barier yang merupakan lemak, karena analog morfin sifat lipofilnya tinggi dia akan mudah menembus barier ini dan terakumulasi pada sisi reseptor dalam jumlah yang lebih besar sehingga aktivitas analgesiknya juga lebih besar.

    BalasHapus
  6. 5. Analgetik Opioid

    Disebut juga OPIOIDA (=mirip opiat) adalah zat yang bekerja terhadap reseptor opioid khas di susunan saraf pusat (SSP) hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi).
    Tubuh dapat mensintesa zat-zat opioidnya sendiri, yakni zat endorfin (adalah kelompok polipeptida endogen yang terdapat di cairan cerebrospinal (CCS) dan dapat menimbulkan efek yang menyerupai efek morfin).

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya ingin menambahkan Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.

      Hapus
  7. 5. Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut pendapat saya, analgetika opioid tidak memiliki mekanisme kerja yang sama dengan analgetika nonopioid, yan.

      Hapus
    2. saya setuju dengan pendapat dayang. Mekanisme analgetik opioid dan non opioid jelas berbeda. Kalau opioid kerja nya di SSP sdgkan nonopioid kerja nya di sistem saraf perifer.

      Hapus
  8. 5. Analgetik opioid secara umum, memiliki mekanisme kerja dengan berikatan dengan (sisa) resptor opioid pada SSP(yang belum ditempati endorfin) sehingga mengubah persepsi dan respon terhadap stimulus nyeri sambil menghasilkan depresi SSp secara umum.

    BalasHapus
  9. nmr 3
    analog morfin menunjukkan kemampuan untuk mencapai reseptor lebih efisien dibandingkan dengan morfin itu sendiri.

    BalasHapus
  10. Saya ingin menjawab pertanyaan nomor 5, yaitu Obat-obatan kelompok analgesik opioid mempunyai kemampuan untuk memblokade pusat nyeri pada SSP (susunan saraf pusat). Sebagai analgesik, obat ini bekerja pada thalamus dan substansi gelatinosa medulla spinalis. Efek umumnya dapat mengurangi kesadaran dan menimbulkan rasa nyaman (euphoria).

    BalasHapus
  11. hai kakak, saya akan mencoba menawab pertanyaan nomor 2, sebaiknya pemberian obat analgetik bagi penderita tukak lambung, sebaiknya obat diberikan setela makan dan sebaiknya digunakan obat yang berslut selaput

    BalasHapus
  12. mekanisme kerja analgetik opioid dapat memberik Efek analgetika karena adanya pengikatan obat dengan sisi reseptor khas pada sel dalam otak dan spinal cord.
    Rangsangan ini juga menimbulkan efek euphoria dan perasaan mengantuk.

    contoh obatnya adalah naloxon
    b. Naloxone
    Naloxon Hcl memiliki Mekanisme obat dalam mengatasi dan pengatasan nyeri : Mekanisme yang pasti dari aktivitas antagonis opiat dari nalokson tidak diketahui dengan pasti. Nalokson kemungkinan berperan dalam antagonis kompetitif pada reseptor opiat Âμ, K, dan S pada sistem saraf pusat; diperkirakan nalokson mempunyai afinitas tertinggi terhadap reseptor Âμ

    BalasHapus
  13. no 5
    menurut artikel yang saya dapatkan menyatakan bahwa :
    mekanisme kerja analgetik opioid dapat memberik Efek analgetika karena adanya pengikatan obat dengan sisi reseptor khas pada sel dalam otak dan spinal cord.
    Rangsangan ini juga menimbulkan efek euphoria dan perasaan mengantuk.

    BalasHapus
  14. no 5 menurut beberapa artikel yang saya baca. Mekanisme kerja analgeti opioid:
    analgetik opioid berikatan dg (sisa) reseptor opioid pd SSP (yg belum ditempati endorfin) shg mengubah persepsi & respon thd stimulus nyeri sambil menghasilkan depresi SSP secara umum.
    •Opioid : Agonis ligand endogen
    •Dalam keadaan normal reseptor Opioid ditempati oleh Ligand endogen.
    •Contoh senyawa ligand endogen :
    Met-enkefalin, Leu-enkefalin,
    b-endorfin, a-endorfin, c-endorfin

    BalasHapus
  15. mekanisme kerja secara umum analgetik opioid yaitu Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.

    BalasHapus
  16. Asetilasi gugus amino (asetanilid) dapat menurunkan toksisitasnya, pada dosis terapi relatif aman tetapi pada dosis yang lebih besar menyebabkan pembentukan methemoglobin dan mempengaruhi jantung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. No 5
      efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme, (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri, (2) morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat. Selain efek analgesik, juga menimbulkan efek sedasi, euforia, physical dependence dan respiratory depression. Morfin juga bertindak sebagai agonis reseptor κ-opioid yang terkait dengan analgesia spinal dan miosis.

      Hapus
  17. No 4 saa
    penghilangan gugus alkohol tidak akan menimbulkan penurunan efek analgesik dan pada kenyataannya malah sering menghasilkan efek yang berlawanan. Peningkatan aktivitas lebih disebabkan oleh sifat farmakodinamik dibandingkan dengan afinitasnya dengan reseptor analgesik. Dengan kata lain, lebih ditentukan oleh berapa banyak obat yang mencapai reseptor, bukan seberapa terikat dengan reseptor. Analog morfin menunjukkan kemampuan untuk mencapai reseptor lebih efisien dibandingkan dengan morfin itu sendiri. Hal ini disebabkan karena reseptor analgesik terletak di otak dan untuk mencapai otak, obat harus melewati sawar darah otak. Dalam rangka untuk mencapai otak, maka terlebih dahulu harus melewati barier ini. Mengingat barier tersebut adalah lemak maka senyawa yang bersifat polar akan kesulitan menembus membran. Morfin memiliki tiga gugus polar (fenol, alkohol dan, amin) sedangkan analognya telah kehilangan gugus polar alkohol atau ditutupi dengan gugus alkil atau asil. Dengan demikian maka analog morfin akan lebih mudah masuk ke otak dan terakumulasi pada sisi reseptor dalam jumlah yang lebih besar sehingga aktivitas analgesiknya juga lebih besar

    BalasHapus